keadaaan Umum
Mulai dari tahun-tahun 1790-an sampai sekitar tahun
1820, Ambon dan kepulauan Maluku berada dalam keadaan yang tidak
menentu. Dua kali orang-orang Inggeris menggantikan orang-orang Belanda
sebagai penguasa (1796-1802, 1810-1817). Mereka meringankan beban yang
harus ditanggung penduduk akibat sistim monopoli VOC ( § 10).
Ketika
orang-orang Belanda kembali (1817), mereka langsung mulai lagi
membebankan bermacam-macam kewajiban kepada rakyat, dan hal itu turut
menyebabkan pemberontakan yang hebat di Saparua. Tahun-tahun 1820-an
merupakan periode yang tenang, tetapi mulai dari 1835 pulau-pulau Maluku
Tengah digoncangkan oleh gempa bumi dan wabah. Dalam pada itu kehidupan
orang-orang Maluku tetap berjalan menurut corak yang sudah berlaku
selama masa VOC. Mereka tidak mengembangkan
kegiatan ekonomi sendiri selain untuk memperoleh keperluan hidup yang
paling terutama. Pulau-pulau Maluku miskin, dan banyak orang yang
merantau menjadi pegawai atau prajurit untuk pemerintah Belanda. Di
bidang politis, orang-orang Ambon tetap berada di bawah perwalian
orang-orang Belanda. Segala sesuatu diatur dari atas, dan mereka
terpaksa menerima saja apa yang diputuskan mengenai mereka.
Tak ada pendeta-pendeta
Gereja di Maluku ikut mengalami pengaruh
peristiwa-peristiwa umum. Pada tahun-tahun 1780-an masih terdapat tiga
orang pendeta di Ambon. Tetapi akibat runtuhnya VOC, hubungan dengan
dunia luar diputuskan. Sejak 1793 sampai 1815 tidak ada lagi seorang
pendeta di Ambon kecuali selama beberapa bulan saja; di Saparua seorang
pendeta masih bertahan sampai tahun 1801. Di Ternate dan Banda, keadaan
tidak banyak berbeda. Barulah pada tahun 1813, pemerintah Inggeris
mendatangkan seorang pendeta dari India, yaitu Jabez Carey, anak William
Carey yang terkenal itu. Tetapi ia kini adalah seorang Baptis, dan
tidaklah bersedia untuk bekerja dalam rangka pekerjaan gerejani
sebagaimana terdapat di Maluku.
Arti tiadanya pendeta-pendeta
Terputusnya hubungan dengan dunia luar sama sekali
tidak berarti bahwa gereja Kristen di Ambon menjadi punah. Orang-orang
Kristen Ambon sekarang juga (bnd § 9) ingin tetap berpegang pada agama
Kristen. Sejak dahulu kala, kekristenan di Ambon terutama terpelihara
oleh guru-guru, bukan oleh pendeta-pendeta asing. Dan kini guru-guru itu
meneruskan kegiatan yang biasa di gereja dan di sekolah. Pendidikkan
mereka tidaklah memadai. Namun demikian, di antara mereka terdapat
orang-orang yang memimpin jemaat dengan cara yang sama sekali dapat
dipertanggungjawabkan. Kita mendengar tentang guru Lokolo di Amahai yang
membimbing jemaatnya dengan sangat setia; tentang seorang guru yang
khotbahnya dipuji juga oleh utusan Injil yang serba kritis itu; tentang
guru kepala Risakotta di Saparua, yang sekolahnya di Tiouw dinilai
sebagai suatu sekolah-teladan. Guru-guru seperti ini mengucapkan pula
khotbah yang mereka susun sendiri (§ 10), dan menurut pekerjaannya,
mereka layak disebut sebagai pendeta. Hanya, mereka tidak ditahbiskan
dan mereka tidak boleh melayankan sakramen-sakramen.
Kehidupan gereja tidak banyak berobah
Bahkan boleh dikatakan bahwa orang-orang Kristen di
Maluku kebanyakan hampir tidak merasa bahwa telah terjadi perubahan.
Orang-orang Kristen di luar kota Ambon sudah biasa dengan pelayanan
sakramen-sakramen yang jarang sekali terjadi. Dan mereka bertemu muka
dengan seorang pendeta paling banyak satu kali setahun; sering juga
kurang dari itu. Jadi, bagi mereka tidak banyak yang berobah dengan
perginya pendeta yang terakhir. Sebaliknya kekosongan pendeta itu hanya
menandaskan kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahan yang sudah ada
selama zaman Misi dan gereja Gereformeerd. Selama dua setengah abad,
orang-orang Kristen Maluku sudah tidak mendapat tenaga pelayan yang
terdidik baik, dan kepada mereka tidak dilayankan sakramen-sakramen
secara teratur. Sekarang hubungan dengan dunia luar telah putus, dan
gereja sama sekali tidak mempunyai lagi pendeta maupun sakramen. Tetapi
dalam keadaan seperti itu gereja di Maluku sudah hidup selama hampir
tiga abad.
Orang-orang maluku berpegang pada agama Kristen
Niat orang-orang Ambon hendak berpegang pada agama
yang diwariskan kepada mereka menjadi nyata dalam pemberontakan di
Saparua (1817), yang dipimpin oleh Thomas Matulessy yang dinamakan pula
Pattimura. Pemberontakan ini untuk sebagian besar dicetuskan oleh
persoalan-persoalan di bidang agama, yaitu gereja dan sekolah.
Pemerintah Belanda mau menghentikan pembayaran gaji para guru dari Kas
negara, sehingga mereka untuk seterusnya akan ditanggung oleh
negeri-negeri sendiri. Orang-orang Maluku menafsirkan rencana itu
sebagai tindakan yang merusak agama Kristen. Orang malah meminta supaya
dikirimi pendeta (Belanda) lebih banyak, supaya pemeliharaan rohani
terjamin. Salah satu alasan lain yang dikemukakan Pattimura ialah bahwa
orang-orang Islam di Maluku konon mau dikristenkan secara paksa. Dan
akhirnya orang marah karena salah satu gedung gereja di kota Ambon, yang
sudah rongsok, mau dijadikan gudang. Pattimura mendapat dukungan penuh
dari pihak para guru, dan mereka yakin bahwa Allah berada dipihak mereka
– tentu saja keyakinan seperti ini terdapat pula pada orang-orang
Belanda.
Corak kepercayaan orang-orang Maluku
Dari tuntutan-tuntutan yang dikemukakan oleh
Pattimura dan oleh guru-guru yang mendukung dia, dapat kita tarik
beberapa kesimpulan lain lagi.
Kesatuan kehidupan
a. Orang-orang Kristen Maluku menganggap bahwa
hubungan yang erat antara gereja, sekolah dan negara, seperti yang telah
berlaku pada zaman VOC, adalah wajar. Gagasan-gagasan baru yang telah
timbul di Barat akibat Pencerahan dan Pietisme, yaitu bahwa negara tak
berurusan dengan gereja dan bahwa sekolah harus dilepaskan dari pimpinan
gereja, adalah sama sekali asing bagi mereka. Di kalangan mereka masih
dianut kesatuan kehidupan seperti yang terdapat dalam lingkungan agama
suku ( § 1) dan di dunia Barat sebelum abad ke-18 ( § 3,10).
Kesucian = kesaktian
b. Keberatan mereka terhadap penjualan suatu gedung
gereja mungkin sekali menandakan bahwa mereka memandang benda-benda
keagamaan sebagai benda-benda suci. Dengan kata lain, bahwa bagi mereka
“kesucian” mendapat arti “kesaktian”, “keramat”, sama seperti dalam
agama suku (tetapi anggapan ini tersebar luas juga di tengah-tengah
kekristenan Barat). Kesan ini diperkuat oleh berita-berita tentang sifat
magis yang melekat pada benda-benda yang dipakai dalam ibadah, seperti
misalnya cerita mengenai seorang pemuda yang merampas isi peti derma,
lalu diserang penyakit yang mengakibatkan mulutnya berbentuk lubang
dalam peti derma itu. Kita bisa pula mengingat pemakaian air baptisan
dan roti perjamuan sebagai obat atau pupuk.
Tidak misioner
c. Reaksi mereka terhadap desas-desus seakan-akan
orang-orang Islam mau dipaksa menjadi Kristen, memperlihatkan kepada
kita bahwa mereka memandang agama Kristen itu sebagai milik yang sangat
dihargai, tetapi yang tidak usah diteruskan kepada saudara-saudara
mereka yang beragama lain. Wajarlah kalau mereka sendiri menganut agama
Kristen; wajar juga kalau di negeri-negeri lain orang menganut agama
Islam. Dalam hal ini pula kita melihat pengaruh citarasa agama suku,
yang tidak bersifat misioner terhadap anggota-anggota lingkungan yang
lain.
Pengaruh agama suku secara langsung
Dalam hal-hal yang dicatat tadi itu nampaklah
pengaruh agama suku yang tidak langsung, yaitu pengaruh pola berpikir
yang terdapat dalam agama suku. Bentuk kepercayaan Kristen ditentukan
olehnya. Di samping itu masih terdapat juga pengaruh agama suku yang
langsung, yaitu kebiasaan-kebiasaan yang berasal dari agama suku.
Kebanyakan orang-orang Kristen masih menyimpan benda-benda keramat,
benda-benda yang berwujud nenek-moyang. Pendeta-pendeta pada zaman VOC
telah memberantas unsur-unsur agama suku ini, dan kalau kedapatan, orang
menerima hukuman berat, sampai diancam hukuman mati. Anehnya,
pendeta-pendeta itu kurang menyadari pengaruh berfikir agama suku yang
tidak langsung itu dalam perwujudan agama Kristen seperti yang terdapat
di Maluku (atau di Belanda sendiri). Akibatnya, usaha-usaha ini tidak
berhasil mencabut kekafiran di tengah jemaat-jemaat Kristen.
Tenaga baru: Jabez Carey (1814 – 1818)
Pemerintah Inggeris tidak senang melihat keadaan
tersebut. Mereka meminta tenaga baru dari zending Inggeris di India.
Yang diutus ialah Jabez Carey, putera tokoh zending yang terkenal itu,
yakni William Carey. Sebagaimana pada zaman VOC para pendeta Belanda
membawa-serta bentuk-bentuk dan corak gereja mereka dari tanah-air,
begitu pula Carey ini memasukkan ke Ambon keyakinan-keyakinan khas dari
gerejanya sendiri, yaitu gereja Baptis. Ia malah disuruh ayahnya
meninjau kembali buku-buku sekolah dan kitab katekismus (§ 10),
menyerang baptisan anak-anak, dan membentuk “gereja-gereja injili”, yang
terdiri dari orang yang betul-betul takut akan Allah. Tetapi Carey
belum berhasil mewujudkan cita-cita ini, ketika orang-orang Belanda
kembali memegang kekuasaan di Maluku (1817), dan mengusir dia (1818).
Tenaga baru: Joseph Kam (1769-1833)
Sebelum pemerintah Belanda sempat mengoper Ambon,
seorang pendeta Belanda sudah memulai pelayanan di sana. Joseph Kam
berasal dari keluarga Pietis di Belanda. Tetapi ia sekeluarga tetap
tinggal anggota-anggota gereja gereformeerd (gereja-rakyat,
gereja-negara). Keluarganya mempunyai hubungan yang akrab dengan jemaat
Herrnhut ( § 19), dan dengan penuh perhatian membaca berita-berita
mengenai usaha pekabaran Injil oleh utusan-utusan Herrnhut. Joseph ingin
menjadi seorang pekabar Injil juga, tetapi baru setelah isterinya
meninggal, ia dapat melamar ke NZG (lembaga ini tidak mau mengutus
orang-orang yang berkeluarga). Selama beberapa tahun ia dididik oleh
pendeta-pendeta dari lingkungan Pengurus NZG. Baru di kemudian hari NZG
mendirikan sekolah pendidikan calon-calon zendeling. Kam di tahbiskan
menjadi pendeta dan pada tahun 1814 ia tiba di Jawa, bersama Bruckner
dan seorang teman lain lagi.
Kam “disita” pemerintah
Kam dan kedua temannya bermaksud untuk bekerja di
tengah-tengah orang yang bukan-Kristen, lepas dari jemaat-jemaat yang
sudah ada. Akan tetapi pemerintah menganggap pemeliharaan atas
jemaat-jemaat itu lebih mendesak daripada pekabaran Injil dan ketiga
zendeling itu disuruh mengisi lowongan-lowongan dalam gereja-gereja ( §
18). Bruckner ditempatkan di Semarang ( § 24), sedangkan Kam sendiri
dikirim ke Ambon. Tetapi sebelum berlayar ke sana, Kam selama setengah
tahun melayani jemaat Surabaya. Di situ ia berkenalan dengan beberapa
orang yang peka terhadap pemberitaannya, antara lain seorang tukang
arloji berkebangsaan Jerman yang namanya Emde (§ 24). Dalam hati mereka
Kam tanamkan kesadaran bahwa mereka bertanggung-jawab atas pekabaran
Injil di tengah-tengah orang-orang Jawa. Pada tahun 1815 Kam mendarat di
Ambon dan mulai bekerja di sana. Umurnya pada saat itu sudah 45 tahun.
Pekerjaan Kam di Maluku (1815 – 1833)
Di Maluku, Kam menemukan situasi yang telah
digambarkan di atas. Yang menjadi persoalan ialah, bagaimana
menghadapinya. Mungkin kita menduga bahwa Kam akan mengikuti corak
Pietisme/Revival dengan mengumpulkan “orang-orang Kristen hidup” dari
antara “massa anggota gereja yang mati” dan dengan menggunakan
kelompok-kelompok orang-orang saleh itu sebagai pangkalan untuk
membaharui gereja. Itulah metode yang telah dianjurkan oleh William
Carey. Dan memang Kam segera mulai mengadakan latihan-latihan rohani dan
kumpulan-kumpulan doa, di mana orang-orang yang sudah “dibangunkan”
berkumpul. Kumpulan-kumpulan itu baginya merupakan suatu alat yang
penting dalam membangun kembali gereja di Maluku. Akan tetapi Kam
bukanlah seorang Pietis yang fanatik, yang tidak mau tahu tentang
gereja-rakyat dan yang meremehkan pemberitaan Firman dan pelayanan
sakramen-sakramen kepada orang banyak. Lain dari pada Carey, ia segera
menyingsingkan lengan dan mulai mengejar ketinggalan yang terjadi akibat
tidak adanya pendeta selama duapuluh tahun. Dua hari setelah tiba di
Ambon ia mulai melayankan Firman; tiga minggu kemudian ia memimpin
perayaan perjamuan Kudus. Dan karena di kota Ambon saja terdapat tiga
ribu anak yang belum sempat di baptis, ia mulai melayankan baptisan
kepada mereka (dengan menetapkan jatah 120 orang per minggu). Dalam
pekerjannya ini, Kam menggabungkan cita-cita Pietisme dengan suatu sikap
terbuka terhadap kenyataan dan nilai gereja rakyat.
Di luar kota Ambon, wilayah dalam, wilayah luar
Tetapi bukan hanya kota Ambon yang menjadi lapangan
kerja Kam. Ia merupakan satu-satunya pendeta di wilayah Maluku, malahan
di seluruh Indonesia Timur. Kam lebih dulu mencurahkan perhatiannya
kepada wilayah-dalam yakni jemaat-jemaat di pulau Ambon dan pulau-pulau
sekitarnya. Pada tahun 1815-1816 ia mengadakan turne ke jemaat-jemaat
tersebut dan di mana-mana ia memberitakan Firman, menegakkan disiplin
gereja dan di sekolah, ditinjaunya juga. Untuk selanjutnya ia
mengunjungi jemaat-jemaat ini – jumlahnya 70 lebih – satu kali setahun.
Di samping itu beberapa kali ia mengadakan perjalanan besar ke Ternate –
Minahasa – Sangir dan ke pulau-pulau Selatan sampai ke Timor. Di situ
keadaan jemaat-jemaat adalah jauh lebih buruk daripada di Ambon dan
sekitarnya (bnd § 10, 11). Karena menyadari bahwa ia tidak dapat memberi
pemeliharaan yang teratur kepada jemaat-jemaat itu, Kam meminta NZG
agar mengirim tenaga-tenaga baru buat menduduki lapangan itu. Delapan di
antara utusan-utusan baru itu ditempatkan di pulau-pulau Maluku
Selatan, tetapi usaha mereka di sana gagal dan terpaksa dihentikan pada
tahun 1841. Tetapi di Minahasa dan di Timor, pekerjaan utusan-utusan NZG
mencapai hasil yang lebih besar (§ 21,22).
Arti pekerjaan Kam
Arti pekerjaan Kam dapat dirangkum dalam dua pokok.
-
Di tengah kekristenan Ambon yang masih menganut kesatuan kehidupan yang bersifat statis dan yang belum bersikap misioner itu ia menanamkan suatu jenis kekristenan yang baru, yakni kekristenan gaya Pietisme/Revival. Hal ini akan membawa kepada ketegangan-ketegangan. Akan tetapi oleh karenanya berkembang juga kekuatan-kekuatan baru, yang mempersiapkan gereja di Maluku untuk perubahan-perubahan besar yang akan datang pada tahun 1935 dan tahun 1950, yaitu kemerdekaan gereja dan pemutusan hubungannya dengan negara.
-
Di kota Ambon dan di jemaat-jemaat Maluku Tengah, Kam mendirikan kembali pelayanan Firman dan sakramen-sakramen serta penggembalaan sampai di tingkat yang lama, yaitu tingkat yang agak rendah. Di daerah-daerah pinggir, dari Minahasa sampai ke Timor, ia hanya mulai menghidupkan kembali jemaat-jemaat, yang di sana adalah bagaikan tanaman yang merana, malahan sudah hampir mati.
Pengganti Kam: Roskott (1835 – 1864)
Sepeninggal Kam, hanya selama satu tahun lagi kota
Ambon dilayani oleh seorang pendeta dari kalangan utusan zending.
Sesudahnya, pemerintah ( § 18 ) kembali mengirim pendeta-pendeta lulusan
Universitas, yang tidak mempunyai hubungan dengan NZG. Pada
pendeta-pendeta GPI ini tidak terdapat semangat yang ada pada Kam, lagi
pula mereka semua lekas mati atau terpaksa pulang. Di samping mereka,
tetap ada beberapa utusan NZG di Maluku. Salah seorang dari kalangan
mereka inilah yang menjadi pengganti Kam dalam arti yang sebenarnya,
yakni Roskott (di Ambon 1835-1873).
Usaha mendirikan SPG, Hehanusa
Roskott bukanlah pendeta, melainkan seorang guru. Ia
diutus NZG dalam rangka rencana untuk membuka suatu sekolah pendidikan
guru (SPG). Kam telah menyadari bahwa pendidikan para guru perlu
diperbaiki, bahkan merupakan syarat mutlak bagi perbaikan keadaan di
gereja dan sekolah. Dan ia telah menerima sejumlah murid di rumahnya.
Salah seorang dari murid-murid ini ialah W. Hehanusa (1799-1887) yang
kemudian ditempatkan di Minahasa dan di sana ditahbiskan menjadi salah
seorang pendeta Indonesia yang pertama (§ 21). Tetapi Kam tidak dapat
mencurahkan perhatian secukupnya kepada pendidikan murid-muridnya,
sehingga pada umumnya hasil usahanya ini tidaklah memuaskan. Makanya NZG
mengirimkan Roskott dengan tugas untuk secara khusus memperhatikan
bidang pendidikan.
SPG Roskott Picauly
Roskott membuka SPG-nya di Batumerah (1835). Ia
mempunyai rekan sepekerjaan seorang Ambon, yaitu Picauly. Murid-murid
hanya terima sesudah melalui penyaringan yang ketat dan mereka harus
tunduk kepada disiplin yang sangat ketat – tetapi serentak mereka
sendiri diberi suara yang besar dalam pelaksanaan disiplin itu, dan
malahan dalam penyaringan murid-murid baru. Jelaslah bahwa guru-guru
yang telah dididik dengan sistem ini tidak akan menjadi orang-orang yang
senang kalau semata-mata merupakan alat pendeta dan yang hanya ingin
mempertahankan keadaan yang sudah berlaku (bnd § 27). Pendidikan mereka
meliputi mata pelajaran yang berguna bagi sekolah maupun gereja, antara
lain latihan khotbah dan tentu saja musik. SPG Batumerah menghasilkan
seratus guru lebih. Mereka lama-lama menggantikan angkatan guru yang
lama, dan banyak juga yang dikirim ke daerah-daerah di luar Ambon,
sampai ke Menado dan Timor.
Ketegangan “gereja-negara”
Pemerintah Belanda senang sekali melihat mutu
guru-guru tamatan Batumerah. Akan tetapi sesudah beberapa waktu,
mulailah nampak hasil-hasil sistem pendidikan Roskott yang tidak begitu
menyenangkan bagi pemerintah. Guru-guru muda didikan Roskott tidak
selalu puas dengan keadaan yang mereka dapati dinegeri-negeri tempat
mereka bekerja. Mereka mulai menggugat tata-cara, “adat Kristen”, yang
mudah terbentuk sejak dua abad lebih. Para raja sebagai pelindung adat
tidak menerima baik perobahan-perobahan yang diusahakan oleh para guru,
dan terjadilah bentrokan-bentrokan. Secara kecil-kecilan terulang di
sini pertikaian antara gereja dan negara yang telah terjadi di Eropa
dalam Abad Pertengahan, yaitu konflik antara suatu negara yang ingin
memelihara kesatuan kehidupan yang statis, dan suatu gereja yang telah
dibangkitkan oleh Injil dan yang mau mendobrak kesatuan itu.
Tindakan-tindakan pemerintah, dan reaksi NZG
Roskott mau memecahkan konflik ini dengan meletakkan
seluruh kekuasaan sipil di tangan para utusan Injil (bnd cita-cita paus
Innocentius!). Tetapi pemerintah Belanda tidak menerima usul ini dan
mengambil tindakan tegas untuk membendung pengaruh sending yang
membahayakan “keamanan dan ketertiban” itu (bnd § 17). Daerah Ambon dan
sekitarnya ditutup untuk pekabaran Injil (1842). Para zendeling boleh
tetap tinggal, tetapi sebagai pekerja GPI. Di dalam rangka GPI mereka
lebih mudah dapat diawasi. Dan memang oleh Pengurus GPI mereka dilarang
mencampuri urusan-urusan pemerintahan negeri (desa) (1850). Para
zendeling dilarang pula mencampuri urusan-urusan sekolah. Bagi
pemerintah Belanda, dalam abad ke-19, sekolah bukan lagi persemaian
gereja (§ 10), melainkan lembaga untuk mendidik warganegara-warganegara
yang baik. Dalam keadaan itu, NZG tidak mau lagi membiayai SPG. Pada
tahun 1864 lembaga itu ditutup. (Keputusan ini dipercepat oleh
pertikaian antara Pengurus NZG dengan Roskott). NZG tidak mau lagi
bekerja sama dengan pemerintah pula. Akibatnya, para zendeling yang
bersedia beralih ke GPI diberi status resmi dalam gereja itu, dengan
pangkat pendeta-pembantu (1867). Seluruh Maluku menjadi daerah GPI.
Penyediaan buku-buku, Kam, Roskott
Kam dan Roskott ingin meningkatkan mutu hidup
gerejani di Maluku dengan cara lain lagi, yakni dengan buku-buku. Ketika
Kam datang, hampir tidak tersedia bacaan Kristen dalam bahasa Melayu.
Alkitab pun (terjemahan Leijdecker, § 15) sudah menjadi begitu langka,
sehingga ditawarkan dengan harga puluhan ribu rupiah. Kitab Mazmur, buku
katekisasi (§ 10, 15), semuanya habis. Kam segera mengimpor bahan-bahan
yang paling perlu, ribuan buah Alkitab dan duapuluh ribu kitab Mazmur.
Tetapi ia berpikir lebih jauh dan mendirikan suatu percetakan sendiri.
Di situ ia antara lain mencetak kitab katekisasi besar yang lama
(“Tiksar”, § 10), sebuah kitab katekisasi sederhana yang baru, dan suatu
kumpulan khotbah-khotbah yang diterjemahkannya sendiri dari bahasa
Inggeris. Khotbah-khotbah ini menggantikan kumpulan Caron (§ 10), yang
sudah dipakai selama 130 tahun yang bahasanya sudah lama tidak dipahami
lagi. Roskott di kemudian hari mempersiapkan suatu
terjemahan PB ke dalam bahasa Melayu yang lebih sederhana daripada yang
dipakai dalam Alkitab-Leijdecker. Dengan kegiatan ini juga, kedua tokoh
tersebut meletakkan dasar bagi suatu kehidupan gerejani yang lebih
mantap.
Unsur baru bekerja terus
Namun demikian, kehidupan baru dalam gereja di Maluku
tidak berhasil dimatikan. Kegiatan utusan-utusan NZG telah memasukkan
suatu unsur baru ke dalam lingkungan jemaat-jemaat di Maluku. Unsur baru
itu untuk sementara waktu tidak diberi kesempatan menciptakan
pembaharuan di dalam, karena dikekang oleh pemerintah. Tetapi semangat
baru itu diarahkan ke luar. Di banyak jemaat didirikan kelompok-kelompok
yang menunjang pekerjaan yang oleh guru-guru Ambon dilakukan di
daerah-daerah di pinggiran Maluku atau di luarnya, sampai di Timor dan
Irian. Melalui usaha-usaha ini, orang-orang Kristen di Maluku Tengah
belajar melihat gereja sebagai urusan mereka sendiri yang harus mereka
tanggung sendiri.
Ringkasan
Sekitar tahun 1800, hubungan gereja di Maluku dengan
dunia luar terputus untuk sementara waktu. Di Maluku Tengah, kehidupan
gerejani berlangsung terus di bawah pimpinan para guru, menurut corak
yang berlaku sejak abad ke-17. Di wilayah-wilayah luar, jemaat-jemaat
semakin lemah atau malah menghilang. Mulai tahun 1813, tenaga-tenaga
baru membawa kekristenan gaya baru ke Maluku. Unsur baru ini lama-lama
mulai mengerjakan pembaharuan dalam jemaat-jemaat. Pemerintah berusaha
mengekangnya, tetapi pembaharuan itu berjalan terus.
#dari berbagai sumber#
@copyright Bill'Iam Latumeten amq-dpk2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar