SEJARAH TERBENTUKNYA NEGERI LATUHALATDahulu negeri-negeri di semenanjung Nusaniwe berada dalam suatu
persekutuan yang disebut Uli Nusaniwe. Uli ini dipimpin oleh seorang
raja bergelar Lopulalan. Selain raja Lopulalan terdapat juga pemimimpin
lain dalam Uli Nusaniwe sehingga membentuk Pemerintahan Empat Perdana
Nusaniwe dengan Uku/Soa (kampung) yang dipimpinnya sebagai berikut :
1.Ukuhener di sekitar bukit Amanila dipimpin oleh seorang Raja dari Tuban bergelar Lopulalan
2.Ukuhuri di sekitar labuhan Namalatu dipimpin Orang Kaya dari Seram bergelar Latuhalat
3.Seilale di sekitar dataran Namasula dipimpin oleh seorang Patih dari Gorom bergelar Pattinai
4.Soapapala di sekitar tanjung Nusaniwe dipimpin seorang Kapitan dari Luhu bergelar Risakotta.
Ketika Imperialisme barat menanamkan kekuasaanya di Ambon, kekuasan
Lopulalan sebagai penguasa Uli Nusaniwe mulai melemah dan negeri-negeri
bawahannya mulai melepaskan diri membentuk pemerintahan otonom. Negeri
Seilale melepaskan diri dan membentuk negeri Seilale dipimpin oleh Raja
Loppies (nama baptis Pattinai) dengan gelar Upu Latu pattinaelai.
Sedangkan Ukuhuri dan Soapapala (sekarang : Waimahu, ) membentuk suatu
pemerintahan dalam negeri Latuhalat dipimpin oleh Raja Salhuteru (nama
sebenarnya Latuhalat) dengan gelar Upu Latu Jorusana. Meskipun demikian
Seilale dan Ukuhuri-Soapapala tetap berada dalam suatu petuanan yang
lazim disebut petuanan Silalatu [Hal ini dilatarbelakangi Cerita Kenari
Bongko]. Dengan terbentuknya negeri Seilale dan Latuhalat, maka negeri
Nusaniwe hanya meliputi Ukuhener ( sekarang : Airlouw), Erie dan sebuah
kampung kecil di selatan yang disebut Hatiari (=Pintu Kota) dipimpin
oleh Raja de Soiza (nama baptis Lopulalan) dengan gelar Upu Latu
Waihenna.LATUHALAT, RAJA DIBAGIAN BARATLatuhalat (Vorst van westen, “ Raja di bagian Barat ”) adalah gelar
yang dipakai oleh Upu Latu Jorusana dalam menjalankan pemerintahan pada
negeri Ukuhuri – Soapapala. Nama sebenarnya raja ini adalah Lasanteru (=
Tiga insan) yang kemudian berubah menjadi Salhuteru. Nama Latuhalat
pada dasarnya mengacu pada letak negeri ini yakni pada ujung barat
jazirah Leitimor. Pada masa kejayaan negeri Nusaniwe di jazirah
Leitimor, raja Latuhalat berada dibawah pengaruh negeri ini dan hanya
berkuasa sebagai orang kaya (gelar pemimpin) pada sebuah perkampungan
(uku) yang disebut Ukuhuri (= Kampung tandus). Raja Latuhalat berdiam di
perbukitan sekitar pantai Namalatu yang disebut Sama Tohi. Selama masa
pemerintahannya di Ukuhuri, raja Latuhalat menjalin hubungan kekerabatan
(sejenis Pela) dengan Raja Lopulalan di negeri Ukuhener (Nusaniwe).
Ukuhuri mewakili unsur perempuan sedangkan Ukuhener mewakili unsur
lelaki [Hubungan ini terbentuk jauh sebelum adanya Pela
Latuhalat–Allang, dan Nusaniwe – Hatiwe besar]. Dengan melemahnya
kekuasaan Nusaniwe, kampung Ukuhuri dan soapapala bergabung dan
diperintah oleh raja Latuhalat. Kampung (soa) Papala sebelumnya dikuasai
oleh seorang kapitan dari Luhu bernama Lisakotta atau Risakota.
Ketenaran dan kesaktian raja Latuhalat di jazirah Leitimor pada masa itu
menyebabkan namanya sangat terkenal sehingga negeri Ukuhuri -Papala
yang dipimpinnnya sering disebut sebagai Negeri Latuhalat. Raja
Latuhalat selanjutnya menggunakan nama sebenarnya, Salhuteru dalam
menjalankan pemerintahannya. Raja pertama di negeri Latuhalat adalah
Pautuselang Salhuteru kemudian diganti oleh putranya Pattikiring
Salhuteru. Selanjutnya Raja yang ketiga adalah Latumanona Salhuteru.
Dalam masa pemerintahannya, Salhuteru dibantu oleh dewan saniri negeri.HIKAYAT NEGERI LATUHALAT
1. KAMPUNG BANJIR
Di ujung barat jazirah Leitimor yang banyak ditumbuhi pohon kelapa,
datanglah seorang kapitan dari Tuban yang mendirikan Negeri Nusaniwe ( =
Pulau kelapa ). Pada mulanya kapitan ini berdiam di sebuah kampung
kecil yang jarang ditumbuhi pepohonan sehingga disebut Eri ( = gundul ).
Dengan menggunakan parang, kapitan ini membuat sebuah jalan ke selatan
dan mendirikan sebuah perkampungan (uku 1) yang sering dilanda banjir
sehingga disebut Ukuhener ( = Kampung banjir ). Atas usahanya, maka
kapitan Tuban ini dijuluki Lopulalan ( Lopu = parang ; Lalan = jalan )
yang menurunkan matarumah raja di negeri Nusaniwe. Lopulalan kemudian
menjadikan Ukuhener sebagai pusat kekuasaannya sehingga ia juga dijuluki
Latuwaihenna (= Raja di negeri berair ). Lopulalan menanamkan kekuasaan
tunggalnya di negeri Nusaniwe hingga kedatangan bangsa barat ke pulau
Ambon, dimana pada tahun 1538 salah seorang keturunanya yang bernama
Sinapati dipermandikan dengan nama baptis de Soiza yang merupakan raja
Kristen pertama di Jazirah Leitimor.2. SUMUR KERAMAT
Kampung Ukuhener banyak ditumbuhi pohon sagu sehingga persediaan air
dikampung tersebut selalu melimpah. Meskipun demikian, penduduk yang
berdiam di kampung ini tidak mengetahui bahwa air yang melimpah di
kampung mereka sebenarnya bersumber dari pohon – pohon sagu tersebut.
Mereka menganggap sagu sebagai tanaman berduri yang tidak bermanfaat dan
memilih hidup dengan mengolah tanaman lain. Di samping itu mereka tidak
mengetahui cara mengolah tanaman tersebut. Karena itu, mereka menebang
dan mengutuk pohon – pohon sagu yang ada di kampung mereka. Akibat
kutukan tersebut, maka air yang melimpah di Ukuhener mengalir dan
berpindah tempat ke sebuah perkampungan ( uku ) yang sebelumnya sangat
sulit untuk mendapatkan air sehingga disebut Ukuhuri (= Kampung tandus),
sedangkan pohon – pohon sagu yang berada di Ukuhener berpindah tempat
ke negeri Rutong dan Leahari. Akibat peristiwa ini, maka penduduk
Ukuhener sulit untuk mendapatkan air. Air di Ukuhener memiliki rasa yang
tidak enak bila disimpan terlalu lama dan hanya bersumber dari sebuah
sumur tua di dekat pantai bernama Waihokar. Mata air ini digunakan
penduduk Ukuhener sebagai sumber air minum. Keadaan ini menyebabkan
penduduk Ukuhener berusaha mencari sumber air sehingga kelak kampung
Ukuhener lebih dikenal dengan sebutan Airlouw ( = Mencari air ).
3. BULU PEMALISelainkapitan Lopulalan, terdapat pula serombongan orang penyembah
langit (Hemelaanbidders) yang berjalan sambil menimbang tanah. Jika
tanah yang ditemukan mereka seimbang dengan tanah yang dibawa mereka,
maka mereka menetap di tempat tersebut. Mereka dikenal sebagai orang –
orang tangguh yang suka berperang dan bersembahyang di bawah terik
matahari. Sebagian dari mereka menetap di negeri Amahusu yang menurunkan
matarumah Soplanit (= Sapu Langit ) dan sebagian lagi menetap di
kampung Ukuhuri dan sebuah perkampungan (soa 2 ) di ujung barat jazirah
Leitimor yang bernama Soapapala [kelak bernama Waimahu : nama sebuah
mata air di kampung ini] sebagai penduduk pertama di kedua kampung
tersebut. Suatu ketika langit ditutupi awan yang tebal. Orang – orang
penyembah langit yang berdiam di Ukuhuri dan Soapapala merencanakan
untuk membersihkan awan tersebut dengan berjalan sambil mendorong dengan
menggunakan beberapa potong bambu yang telah disambung. Ketika rencana
tersebut dijalankan, bambu yang digunakan mereka patah dan jatuh menimpa
sebuah pohon mangga pau. Patahan bambu tersebut kemudian menjelma
menjadi serumpun pohon bambu di ujung tanjung Nusaniwe yang oleh
penduduk setempat disebut Bulu Pemali. [Daun – daun bambu ini tidak
jatuh di tanah tetapi menuju ke dua pulau kecil di laut Banda yakni
Pulau Penyu dan Lucipara]. Akibat peristiwa ini, maka rombongan
penyembah langit di Ukuhuri dan Soapapala dijuluki Paupeealanit (Pau =
sejenis mangga ; Peea = berjalan mendorong ; Lanit = langit ). Rombongan
Paupeealanit selanjutnya mendirikan tiga benteng pertahanan yaitu
Amanlanite (3) ( = Negeri/kota langit ), Hatuhulan ( =Batu/kota bulan)
dan Kotabelo ( = Kota sumpah ). Benteng Amanlanite dipimpin oleh seorang
kapitan bernama Bontuwawa di Ukuhuri, sedangkan benteng Kotabelo
dipimpin oleh seorang kapitan bernama Latu Lekar di Soapapala.4. BATU PERAHU
kepulauan Banda terdapat sebuah pemerintahan bernama petuanan Rum yang
berada di bawah kekuasaan kerajaan Sahulau di pulau Seram. Petuanan ini
dikuasai oleh seorang latupatih yang berkedudukan di ibukota Lautaka.
Karena pertumbuhan penduduk yang semakin pesat, maka Latupatih
memerintahkan sebagian penduduknya berpindah ke pulau Jawa di bawah
pimpinan puteranya yang sangat sakti dan memiliki kulit agak gelap
sehingga dijuluki Latumeten ( = Raja hitam ). Rombongan dari petuanan
Rum selanjutnya menetap di pulau Jawa, tepatnya di kerajaan Kahuripan.
Pada waktu pengaruh Islam masuk ke pulau Jawa, rombongan Latumeten
menolak ajaran tersebut dan memutuskan untuk kembali ke tanah asal
mereka di kerajaan Sahulau. Rombongan Latumeten kemudian meninggalkan
pulau Jawa menuju ke pulau Seram dan singgah di Waeputih (belakang
tanjung Sial/Hoamual). Setelah melalui Hatusua, rombongan melanjutkan
perjalanan ke pulau Ambon dan singgah di negeri Ureng. Setelah melalui
beberapa negeri di pulau Ambon seperti Rumahtiga, Passo, Hutumuri, Suli,
Halong dan Soya, mereka akhirnya singgah di pantai Ukuhuri, tepatnya di
sebuah labuhan yanmg bernama Malulang, dimana perahu yang mereka
tumpangi menjelma menjadi sebuah batu yang disebut Hatuhoat (= Batu
perahu ). Perjalanan rombongan Latumeten dari suatu tempat ke tempat
lain menyebabkan mereka dijuluki Tarinusa ( = Cari pulau ). Konon
rombongan Latumeten dipimpin oleh seorang kapitan bernama Sakitawan. Di
dalam rombongan tersebut terdapat seorang kapitan lain bernama Sulaiman.
Kapitan ini memiliki warna kulit agak terang sehingga dijuluki
Latuputty ( = Raja putih ). [Sumber lain bahwa Latuputty berhubungan
saudara dengan Latupapua dari negeri Kilang]. Rombongan Latumeten
kemudian mendirikan sebuah perkampungan yang bernama Tupa, tepatnya di
suatu aliran air yang disebut Wairissa (= Air permusuhan) sambil
mengintip kapitan Bontuwawa di benteng Amanlanite. Di tempat inilah
mereka menetap dan menurunkan matarumah Latumeten hingga saat ini.
Beberapa hari kemudian datanglah seorang kapitan Seram dari Hoamual
dengan menggunakan sebuah gusepa/perahu yang bernama Lessy dengan gelar
Satumalay. Sebelum melakukan perjalanan ke Tupa, kapitan ini berlayar
dengan menggunakan buah hutung sehingga pada lahuhan tempat singgahnya
tumbuh sebuah pohon hutung hingga saat ini. Kapitan Latumeten kemudian
mengangkat Lessy sebagai anak angkatnya untuk melakukan perlawanan
terhadap orang – orang Paupeealanit di benteng Amanlanite.5. POHON KEKERSementara itu di Soapapala telah datang seorang kapitan Seram dari
Luhu, Hoamual yang menurunkan matarumah Risakotta ( = Kota permusuhan )
dan seorang kapitan lain dari kepulauan Sula di Maluku Utara sehingga
dijuluki Tuhusula. Kapitan Tuhusula berlayar dengan menggunakan sehelai
daun pandan/keker dan singgah di pulau Manipa. Di tempat ini, kapitan
Tuhusula mencari ikan sebagai bekal dalam perjalanan dan menemukan
sejenis ikan bernama Sapalewani. Kapitan Tuhusula kemudian membuat
sebuah perahu yang tiang dan layarnya terbuat dari kayu rina dan daun
bira ( sebutan untuk kayu dan daun pohon keker) dan berlayar ke
Soapapala tepatnya di sebuah labuhan bernama Umeten ( = Pantai hitam ).
Di tempat inilah pohon keker yang digunakan oleh kapitan Tuhusula untuk
membuat perahu tumbuh di labuhan ini. Akibat peristiwa ini, maka ikan
Sapalewani dan pohon keker dianggap sebagai pantangan/posso bagi
matarumah Tuhusula. Pantai Umeten terletak dekat ujung Tanjung Nusaniwe
sehingga kapitan ini dipercayakan sebagai Tuan Tanjung hingga saat ini.6. PULE CAPKapitan Risakota dari Soapapala kemudian menjalin hubungan dengan
kapitan Latumeten di Ukuhuri untuk bersama – sama melakukan perlawanan
terhadap orang – orang Paupeealanit dibantu oleh kapitan – kapitan lain
yang telah berada di kedua kampung tersebut. Dalam perlawanan tersebut
kapitan Latumeten berhasil memenggal kepala kapitan Amanlanite,
Bontuwawa diikuti dengan jatuhnya benteng Kotabelo ke tangan kapitan
Risakotta. Kepala Bontuwawa kemudian menjelma menjadi seekor burung dan
terbang menuju sebuah pohon di kampung Eri yang bernama Pule Cap. Di
tempat inilah kepala tersebut menjelma menjadi sebuah batu. [Peristiwa
ini menyebabkan kelak tempat ini ditetapkan sebagai perbatasan negeri
Nusaniwe– Urimesseng]. Orang – orang Paupeealanit yang berada di Ukuhuri
dan Soapapala kemudian menetap di kampung Eri dan nama mereka
diperpendek menjadi Peea. Dengan penaklukan orang – orang Paupeealanit
sebagai penduduk pertama di negeri Ukuhuri dan Soapapala, maka untuk
sementara kedua kampung tersebut masing-masing dikuasai oleh kapitan
Latumeten dan Risakotta hingga kedatangan bangsa barat ke pulau Ambon.7. UANG BESIPada waktu kedatangan bangsa Portugis di Ukuhuri, salah seorang anak
perempuan dari keturunan Latumeten dipinang oleh seorang sedadu Portugis
dengan bayaran harta berupa Ijzeren Dukaton (4) (sejenis uang Belanda)
yang terbuat dari besi. Bayaran harta tersebut menyebabkan kedua
mempelai dijuluki Dukatonbessy yang dalam perkembangan selanjutnya
berubah menjadi Lekatompessy. Peristiwa ini menyebabkan matarumah
Lekatompessy menggunakan Tarinusa (gelar matarumah Latumeten) sebagai
gelar/Teon bagi matarumahnya.8. GELANG EMASDari pulau Bali datanglah tujuh kapitan bersaudara yang melakukan
perjalanan ke arah timur. Dalam perjalanan tersebut salah seorang di
antara mereka yakni saudara bungsu menjelma menjadi seekor belut/morea
dengan memakai sebuah gelang emas. Peristiwa ini menyebabkan keenam
saudaranya menganggap morea sebagai hewan pantangan bagi matarumah
mereka. Keenam kapitan tersebut singgah di pantai Seri, negeri
Urimesseng dan menggali sebuah liang sebagai tempat persembunyian mereka
sambil mengintip seorang kapitan Paupeealanit bernama Latu Nahil yang
telah menguasai tempat tersebut. Peristiwa ini menyebabkan keenam
kapitan ini dijuluki Mata – mata ( = Pengintip). Julukan ini kelak
diperpendek menjadi Mata-ata yang digunakan sebagai teon bagi keturunan
keenam bersaudara ini. Ketika Latu Nahil mendekati tempat pesembunyian
mereka, ia dikepung dan dengan mudah ditaklukan oleh enam bersaudara
ini. Keenam saudara tersebut adalah Akipu dan Huniake yang tidak
memiliki keturunan, Hehareu di negeri Kilang, Mainake di Negeri Amahusu
serta Narua dan Tuhumuri (Muri = Belakang)yang berdiam di Ukuhuri dan
Soapapala.9. PEREKAT SAKTIDi negeri Kaibobo hidup seorang kapitan bernama Laicat Mahaili dengan
seorang perempuan yang adalah saudaranya. Mereka sebenarnya berasal
dari sebuah tempat bernama Kamukalawae (?). Keduanya melakukan
perjalanan ke pulau Ambon dan menetap di hutan belakang negeri Hatiwe.
Di tempat ini mereka bertemu dengan seorang kapitan Hatiwe yang tidak
senang dengan kedatangan mereka bernama Bolebrani. Bolebrani kemudian
melakukan perkelahian dengan Licat Mahaili. Dalam perkelahian tersebut
Laicat Mahaili dibantu oleh saudara perempuannya dengan menaburkan buah
gondal dan buah/dedaunan lain yang mengandung perekat di depan kaki
Bolebrani untuk menghambat pergerakan kapitan Hatiwe tersebut. Akhirnya
Laicat Mahaili dapat memenangkan perkelahian tersebut dan mengubah
namanya menjadi Laicatamu yang menurunkan matarumah Lestamu di negeri
Hatiwe Besar sedangkan saudara perempuannya menuju ke Ukuhuri. Pada
waktu tiba di Ukuhuri, saudara perempuan Laicat Mahaili bersembunyi
karena takut kapitan Latumeten yang telah menguasai tempat tersebut
hingga kadatangan Lasanteru dari Seram. Peristiwa ini menyebabkan
saudara perempuan Laicat Mahaili dijuluki Latuhihin (= Raja sembunyi) di
Ukuhuri dan Soapapala.10. BATU BICARAPada awal abad ke -16 datanglah seorang kapitan Seram yang sangat
kuat dari Tanjung Sial bernama Lasanteru (= Tiga insan). Ia datang ke
Ukuhuri dan singgah di sebuah labuhan yang disebut Namalatu ( = Labuhan
Raja). Lasanteru bertemu dengan lima kapitan yang telah mendahuluinya
yakni Oppier (Soa Latu), Lekatompessy (Soa Tomahuat), Latumeten (Soa
Tehuwani), Risakotta (Soa Papala) serta Narua (Soa Tutuwarong) dan
melakukan perundingan pada suatu tempat bernama Hatulebesou ( = Batu
Bicara ). Dalam pertemuan tersebut Lasanteru dipilih menjadi pemimpin
semua kapitan di Ukuhuri dengan gelar Latuhalat (= Raja di Bagian Barat
), sedangkan Latumeten hanya memimpin kampung Tupa yang didirikannya.
Lasanteru selanjutnya mengangkat Oppier bersama Latumeten sebagai
malessy (ondelbevelhebbers)-nya untuk berperang guna melepaskan diri
dari pengaruh negeri Nusaniwe. Lasanteru kemudian membangun sebuah
benteng pertahanan yang bernama Benteng Lebe yang terletak pada suatu
tempat agak ke bukit dari pantai Namalatu yang disebut Sama Tohi. Di
tempat ini Lasanteru menetap dan namanya diubah menjadi Salhuteru dengan
gelar Upu Latu Jorusana yang kelak menurunkan matarumah raja di negeri
Latuhalat.11. PULAU PENYUKetika mendengar Lasanteru dipilih menjadi pepimpin semua kapitan di
Ukuhuri, kapitan Latumeten menjadi gusar dan menendang beberapa batu di
pantai Namalatu kearah laut. Batu – batu tersebut kemudian terapung dan
menjelma menjadi dua buah pulau di perairan laut Banda yakni Pulau Penyu
dan Lucipara. Pada waktu orang – orang Binongko (Sulawesi Tenggara)
menemukan kedua pulau tersebut, mereka datang ke Tanjung Nusaniwe,
tepatnya di bawah Bulu Pemali dengan membawa seekor ayam putih dan
ramuan sirih – pinang untuk memohon ijin mencari penyu di kedua pulau
tersebut.12. KENARI BONGKOPada waktu Salhuteru memerintah di Ukuhuri, kapitan negeri Seilale
yang berasal dari Gorom bernama Pattinaelai (kelak dipermandikan dengan
nama Loppies sebagai Raja Seilale) ditawan oleh kapitan matarumah Laukon
bernama Nakutulaisou di negeri Kilang. Pattinaelai kemudian dibebaskan
kebali ke negeri Seilale oleh seorang kapitan Seilale lainnya bernama
Hurihatur (Kapitan matarumah Kailola). Hurihatur adalah tukang sunat
keturunan seorang seorang imam bernama Wahit di negeri Kailolo. Kapitan
Nakutulaisou kemudian datang ke Ukuhuri dan Seilale untuk melakukan
perlawanan dengan kapitan Hurihatur. Ketika mendengar bahwa kapitan
Nakutulaisou memasuki daerah kekuasaannya untuk melakukan perlawanan,
Salhuteru sangat marah dan berjanji akan memberikan anak gadisnya kepada
kapitan yang dapat membawa kepala Nakutulaisou secara utuh kepadanya.
Pada waktu tiba di semenanjung Nusaniwe, Nakutulaisou bertemu dengan
kapitan Hurihatur yang sedang memanjat sebuah pohon kenari yang oleh
penduduk setempat disebut Kenari Bongko. Nakutulaisou meminta kenari
diberikan oleh Hurihatur, tetapi ketika Hurihatur meminta pinang,
Nakutulaisou memberinya di ujung parang sambil menyerang Hurihatur.
Dalam perkelahian tersebut, Hurihatur berhasil memenggal kepala
Nakutulaisou dan memotong lidahnya.[Peristiwa ini menyebabkan matarumah
Kailola dilarang menerima sesuatu dari matarumah Laukon]. Kepala tanpa
lidah tersebut, kemudian ditemukan oleh seorang kapitan bernama Oppier
dan membawanya kepada Salhuteru agar dapat mengawini anak gadis kapitan
tersebut. Lasanteru kemudian mengawinkan anak gadisnya dengan kapitan
Oppier, tetapi ketika perkawinan tersebut hendak dilangsungkan,
datanglah kapitan Hurihatur dan menceritakan kejadian yang sebenarnya
bahwa yang membunuh Nakutulaisou adalah Hurihatur dan kepala
Nakutulaisou yang dibawa kapitan Oppier tidak utuh karena tidak memiliki
lidah. Hurihatur menyindir kapitan Oppier dengan julukan Latu Seri
Poppot (de vorst die Versot is op Vrouwelijke Schaamdeleen) yang dapat
diartikan sebagai Kapitan ‘Mata‘ Perempuan. Gelar ini kemudian
diperpendek menjadi Latusripa yang digunakan sebagai gelar matarumah
Oppier hingga saat ini. Akibat peristiwa tersebut Lasanteru dari Ukuhuri
(Kelak disebut Latuhalat) menjalin hubungan persaudaraan dengan kapitan
Hurihatur (Matarumah Kailola) di negeri Seilale. Latar belakang inilah
yang menyebabkan kedua negeri ini mengaku sebagai “ Negeri Kembar “ dan
bersepakat untuk menetap dalam suatu petuanan hingga saat ini.13. PAKU PAYUNGDari pulau Jawa datanglah beberapa kapitan yang menurunkan matarumah
Mahulette (6). Dahulu daerah perbukitan semenanjung Nusaniwe banyak
ditumbuhi alang – alang / ilalang. Leluhur matarumah ini menyangka alang
– alang tersebut sebagai tanaman padi (tanaman pengenal suku Jawa)
sehingga mereka menuju ke pantai utara semenanjung ini. Dalam perjalanan
mereka membawa air yang diisi dalam ruas bambu dan sebuah payung untuk
melindungi mereka dari terik matahari. Pada waktu singgah di semenanjung
Nusaniwe, saudara mereka yang bungsu melanjutkan perjalanan ke Hitu.
Sebelum berpisah mereka menanam bambu berisi air yang dibawa mereka
Bambu berisi air tersebut kemudian menjelma menjadi sebuah mata air
bernama Wewai di labuhan persinggahan mereka. Rombongan Mahulette
kemudian melanjutkan perjalanan ke Ukuhuri dan Soapapala, sedangkan
saudara mereka yang bungsu dengan menggunakan perahu berlayar menurunkan
matarumah ini di bagian belakang jazirah Leihitu. Ketika rombongan ini
tiba di pedalaman Ukuhuri mereka beristirahat dan melakukan makan
bersama tetapi tidak menemukan sumber air. Payung yang dibawa mereka
dalam perjalanan kemudian ditusuk ke dalam tanah dan mengalir sebuah
mata air bernama Wermatan. Payung tersebut kemudian menjelma menjadi
serumpun pohon paku berbentuk payung di sekitar mata air ini. Setelah
melakukan makan bersama sebagian dari mereka melanjutkan perjalanan ke
Soapapala. Kedatangan matarumah ini berhubungan dengan labah – labah
sehingga mereka dijuluki Hahulawa.14. GURITA AJAIBDari Hoamual di Seram Barat datanglah seorang kapitan bernama
Tehupuring. Ia datang ke semenanjung Nusaniwe karena mematahkan salib
emas raja negeri Iha. Tehupuring berlayar ke semenanjung Nusaniwe dengan
menggunakan sebuah perahu. Dalam perjalanannya ia menangkap gurita
sebagai bekal baginya. Karena tiupan angin, pelita yang digunakan
sebagai penerang dalam perjalanannya padam sehingga gurita yang
ditangkapnya berfugsi sebagai penerang hingga kapitan Hoamual ini tiba
di negeri Seilale. Peristiwa ini menyebabkan matarumah Tehupuring
menganggap gurita sebagai hewan pantangan bagi mereka. Ketika tiba di
pantai Seilale, kapitan Tehupuring dikurung oleh beberapa anjing piaraan
kepunyaan seorang kapitan yang telah berada di tempat tersebut bernama
Mantulameten. Anjing – anjing tersebut menyambut kedatangan Tehupuring
dengan membawa berbagai jenis makanan pada mulutnya. Ketika kapitan
Mantulameten melihat kejadian tersebut, ia pergi dan hendak melakukan
perlawanan dengan Tehupuring, tetapi ketika rencana tersebut hendak
dilaksanakan datanglah Hurihatur (kapitan matarumah Kailola) dan
mendamaikan keduanya. Tehupuring selanjutnya menetap di Seilale sebagai
tukang baileo dan kepala rumah ibadat. Keturunannya sebagian menetap di
Ukuhuri dan Soapapala.
15. TURUN TAHTADi kerajaan Ternate seringkali para bangsawan tidak betah dengan
berbagai aturan dalam keraton. Bagi mereka lebih baik menjadi rakyat
jelata daripada diatur dengan berbagai aturan. Keadaan ini mendorong dua
bersaudara yakni Latuari dan Latukolan, anak seorang sangaji(7) Goga
meninggalkan Ternate menuju ke semenanjung Nusaniwe dan singgah di
labuhan Eri. Keadaan yang sama dialami oleh seorang sangaji bernama
Suwebong Tumanega yang melarikan diri dari Ternate pada masa
pemerintahan Gubernur Cransen. Kapitan lain yang juga berasal dari
Ternate adalah Kapitan Angkotta [nama ini diberikan oleh raja Hitu].
Kedua kapitan ini menurunkan matarumah Singadji dan Angkotta dengan
gelar adat yang sama.16 . ANAK ANGKATPada pertengahan abad ke-17, kompeni VOC menjalankan menopoli
perdagangan rempah – rempah di Maluku. Untuk tujuan tersebut, maka
dijalankan Pelayaran Hongi (Hongitochten) yaitu pelayaran untuk membasmi
tanaman cengkih yang tidak termasuk dalam wilayah kekuasaan kompeni.
Pada waktu itu di jazirah Leitimor belum banyak ditanami pohon
cengkihsehingga kapitan – kapitan di daerah ini sering dimanfaatkan
kompeni untuk menjalankan pelayaran tersebut. Tindakan ini dirasakan
sangat merugikan masyarakat sehingga tidak disetujui oleh orang – orang
Ternate yang sebagian besar berdiam di jazirah Hoamual, Seram Barat.
Akibatnya dengan bantuan Makassar, Raja Luhu di Hoamual melakukan
perlawanan terhadap kompeni dibantu kapitan – kapitan dari Leitimor yang
disebut Perang Hoamual. Di antara kapitan yang membantu kompeni adalah
Latumeten dan Angkotta dari semenanjung Nusaniwe. Dalam perlawanan
tersebut raja beserta para kapitan Luhu berhasil dibunuh, kecuali
Kapitan Leasa ( = Lessa (8)) dan Maulani. Kapitan Angkotta dan Latumeten
selanjutnya mengambil Leasa dan Maulani masing – masing sebagai anak
angkat mereka dan bersama – sama berdiam di semenanjung Nusaniwe.
Matarumah Maulani memiliki hubungan saudara dengan matarumah Singkery
sehingga keduanya menggunakan gelar matarumah yang sama.17. PUTERA NUNUSAKUDi pulau Seram terdapat sebuah kerajaan purba bangsa Alifuru yang
berpusat pada sebuah pohon beringin (nunu) sehingga disebut Nunusaku.
Kerajaan ini dialiri tiga aliran sungai yakni Tala, Etie dan Sapalewa.
Di sekitar sungai Sapalewa terdapat suatu persekutuan adat di bawah
pimpinan kapitan Pasanea dan saudara – saudaranya. Salah seorang
saudaranya berlayar dan menurunkan matarumah Nampasnea di semenanjung
Nusaniwe.Keterangan :
1 & 2. Perkampungan yang berada dalam aman (=negeri)
3. Nama jalan utama di negeri Latuhalat
4. Sejenis uang belanda yang harganya sekitar 5 golden dan 3 sen
5. Sebutan untuk mengenang kejadian yang pernah dialami leluhur suatu matarumah
6. Sebutan untuk golongan tertinggi dalam stratifikasi masyarakat di Maluku Tengah
7. Jabatan dalam kesultanan Ternate yang mengatur bidang perdagangan
8. Tempat makan yang terbuat dari daun kelapa
adoo bung'ee... coba ganti tulisan tuh deng font2 biasa saaa kaa.. :D beta yang baca mata langsung saki'e.. :/ tp.. danke lai su posting ini.. :)
BalasHapusArtikelnya menarik tapi sayang ini artikel saya yang telah beredar di negeri Latuhalat sejak tahun 2002 dan telah diposting dalam blogg sejak Juli 2009...jangan plagiator karya orang donk..hargai dikit....kelihatan tidak ilmiah bangat..
BalasHapusSeng tau sapa yg btul.
HapusDong dua suten jua par akang.
bung kalau latumeten dari hatiwe besar bagaimana akang pung sejarah...
BalasHapus