Pada
suatu malam Ina Luhu memasuki kamarnya. Sebagai puteri raja, ia
diberikan sebuah kamar yang indah di rumah raja. Ia naik ketempat
tidurnya. Diatas tempat tidur ia berlutut dan bersujud sambil brdoa: “O,
Tuhan, ampuni hambaMu! Bila Tuhan mengasihi hamba, bebaskanlah hamba
dari penderitaan ini. Hamba sudah tak mampu lagi menanggungnya terlalu
lama. Ambilah jiwa hamba Tuhan dan campakanlah tubuh hamba untuk menjadi
binatang buas. Sebab tubuh ini tak mampu lagi dipakai untuk memuja
Engkau di dunia ini. Tuhan, kasihanilah hamba dan dengarlah doa hamba.
Amin!
Sesudah
berdoa, Ta Ina Luhu turun perlahan-lahan dari tempat tidurnya, membuka
pintu dan keluar ke halaman. Rembulan di malam itu sangat terang
menderang. Langit bersih walaupun udara agak dingin karena Desa Soya
terletak di daerah pegunungan. Ta Ina Luhu mengambil syal yang biasa
dililit dilehernya. Ia berjalan sejauh sepuluh meter dari rumah dan
menolah kea rah rumah yang menjadi tempat kediamannya. Dengan mulut yang
komat-kamit, ia pamit: “O, rumahku dan keluargaku yang
tersayang..relakan beta pergi. Jangan cari beta lai. Aib yang menimpa
diri ini biarlah untuk beta sendiri.”
Sunyi,
hanya salak anjing dikejauahan. Tidak sesosok tubuhpun yang ada di
jalan. Di halaman ada seekor kuda yang sedang merumput. Kuda itu
kepunyaan raja Soya. Beliau mempergunakannya bila datang ke benteng
menghadap Gubernur Ambon.
Perlahan-lahan
Ta Ina Luhu mendekati kuda itu. Dipegang tali kekangnya. Kudapun
menurutinya. Dirayu-rayu kuda itu dengan tangan kanannya. Kemudian ia
melompat ke atas punggung kuda. Ia menyepak perut kuda itu dengan kaki
kanannya dan kuda itu berjalan menuruti keinginan Ta Ina Luhu yang
diatur dengan tali kekangnya. Kuda itu setia mengikuti kehendaknya
menurun dan menaiki gunung. Hutan yang dilaluinya belum pernah
dijalaninya. Embun malam membasahi kaki dan badannya. Namun tak terasa
dingin sedikitpun. Ketika matahari terbit Ta Ina Luhu telah berada di
puncak gunung. Dari puncak gunung itu, nampaklah teluk Ambon sungguh
indah dan manisnya.
Ia
turun dari punggung kuda, pantatnya terasa panas karena hampir
semalam-malaman berada dipunggung kuda. Ia jatuh terjembab ke tanah. Ia
tak berdaya untuk berdiri lagi. Hampir lima belas menit lamanya ia
berusaha dengan sekuat tenaga. Dengan kekuatannya yang masih ada,
berdirilah Ta Ina Luhu disamping kudanya. Kuda ditarik dari kekangnya
dan pergi bernaung di bawah sebatang pohon yang tidak seberapa besarnya
di puncak gunung itu. Ta Ina Luhu melepaskan lelahnya dibawah pohon itu
sambil berbaring. Sedang kudanya dibiarkan merumput di dekat situ.
Ketika matahari makin tinggi, terasa perutnya makin perih. Untung saja
terlihat didekatnya ada sebatang pohon jambu biji. Ia mendekati pohon
jambu biji itu, dan terlihatlah ada beberapa buahnya yang masak.
Dipetiknya beberapa buah jambu biji yang masak-masak. Lalu ia kembali ke
bawah pohon itu sambil memakannya. Dalam keadaan seperti itu, sarapan
dengan beberapa buah jambu biji cukup lumayan.
Di
negeri Soya, keluarga raja Soya menjadi panik. Ketika mereka bangun
pagi dan menengok ke dalam kamar puteri Luhu, tak seorangpun Nampak.
Mereka lalu coba mencarinya. Mereka menyangka Ta Ina Luhu sedang
jalan-jalan di pagi hari untuk menghirup udara gunung dengan angin yang
sedang bertiup dari puncak gunung Sirimau. Tetapi ketika mereka menunggu
sampai matahari telah tinggi, Ta Ina Luhu belum lagi kembali. Merekapun
menjadi gelisah. Sambil bertanya kesana-sini, jangan-jangan ada yang
melihat dan menjumpainya. Namun tak seorangpun yang melihatnya. Juga
kuda sang raja ketika mau dipergunakan, tidak berada ditempatnya yang
biasa. Semua orang berpendapat, Ta Ina Luhu telah pergi dengan
menunggangi kuda tersebut. Dan kalau ini benar, maka mudah untuk
mencarinya. Sebab mereka akan berjalan menelusuri telapak kaki kuda. Dan
karena tanah di pegunungan agak gembur maka telapak kaki kuda akan
mudah terlihat.
Raja
Soya membunyikan tifa negeri sebanyak empat kali untuk memanggil
marinyo yaitu seorang petugas negeri dan enam kali untuk memanggil
Kepala Soa seorang staf pemerintahan. Ketika kedua pejabat itu datang
menghadap, maka mereka diperintahkan raja untuk memerintahkan semua
orang laki-laki yang berumur enam belas sampai empat puluh tahun agar
segera berkumpul di baileo. Tauri dan tifa segera dibunyikan disertai
tabaos marinyo keliling negeri meminta semua orang laki-laki yang
berumur enam belas sampai empat puluh tahun untuk berkumpul di baileo.
Tidak berapa lamanya baileopun penuhlah dengan orang laki-laki yang
berumur enam belas hingga empat puluh tahun. Malah yang lebih tua dari
itupun hadir disitu untuk mencari tahu apakah gerangan yang terjadi.
Setelah
semuanya hadir maka raja Soya pun memberitahukan tentang perginya nona
Puteri Ta Ina Luhu dari rumah sejak pagi dan belum kembali. Supaya semua
anak muda di negeri Soya keluar mencarinya. Dan bila menemuinya
membawanya kembali ke Soya. Ia pergi sambil menunggang kuda. Dengan
demikian jejaknya akan mudah diikuti. Setelah mendapat petunjuk
berangkatlah mereka dengan membagi diri dalam beberapa rombongan. Ketika
matahari hampir terbenam, barulah jejak kuda ditemukan. Terpaksa
pencarian hari itu tak dapat ditemukan dengan mengikuti jejak kuda.
Besoknya pagi-pagi pencarian dilanjutkan lagi. Mereka mulai menelusuri
telapak kaki kuda. Namun ada bekas-bekas telapak lama yang menyebabkan
pencarian itu tersendat-sendat. Hari itu mereka telah menyiapkan obor
supaya walaupun malam nanti pencarian terus dilaksanakan sampai Nona
Puteri Ta Ina Luhu dijumpai dan dibawa pulang.
Ta
Ina Luhu tidak beranjak dari tempatnya beristirahat dipuncak gunung
itu. Tetapi karena ia mendengar suara orang memanggil-manggil dari jauh
maka ia segera pergi dari tempat itu turun ke pantai Amahusu. Bekasnya
bermalam di puncak gunung itu ditemui oleh rakyat Soya. Dari situ mereka
memandang ke teluk Ambon, wah, alangkah indahnya. Disinilah Nona
Puteri bernaung dan beristirahat. Untuk mengenang tempat peristirahatan
Nona Puteri itu, maka tempat tersebut mereka namai; “GUNGUNG NONA”
sampai saat ini. Dan guung Nona, puncaknya menjulang dan setiap mata
dapat memandangnya dari teluk Ambon. Nona Ta Ina Luhu berlari dengan
kudanya turun ke pantai Amahusu. Setiba di tepi pantai angin kencang
menerbangkan topinya dan jatuh dibibir pantai. Ketika topinya mau
dipungutnya, topi itu telah menjadi “BATU”. Batu yang menyerupai topi
itu kemudian disebut “BATU CAPEU”, karena berdasarkan bahasa daerah
Maluku, Capeu artinya “Topi”. Dari Batu Capeu, ia mengendarai kudanya
perlahan-lahan masuk kota Ambon. Tubuhnya telah lemah, karena lapar
bercampur haus. Ketika ia mau memasuki kota Ambon dari Amahusu, ia
bertemu dengan sebuah mata air. Ia turun dari kudanya dan minum
sepuas-puas hatinya disitu. Kudanya juga diberi minum sepuas-puasnya.
Air itulah yang kemudian bernama “AIR PUTERI” sampai saat ini. Dari Air
Puteri ia kembali menuju Gunung. Maksudnya ia mau ke Gunung Nona tempat
persembunyiannya semula. Karena ia tahu bahwa mereka yang mencarinya
tadi pasti sudah pergi dari sana. Tetapi kudanya perlahan-lahan mendaki,
tiba-tiba ia bertemu dengan serombongan pemuda Soya yang sedang
mencarinya. Ta Ina Luhu tak dapat lagi melarikan diri. Ia segera turun
dari kuda dan berlutut di atas tanah sambil berdoa : “O Tuhan yang hamba
kasihi, kira Tuhan jangan mempermalukan hamba di tengah mereka yang
mencari hamba ini.” Dan ketika mereka akan memegangnya maka hilanglah Ta
Ina Luhu diantara mereka. Seorangpun diantara mereka yang tak melihat
kemana Nona Puteri Ta Ina Luhu itu pergi dan menghilang. Ia Raib untuk
selama-lamanya. Kemanapun ia dicari tak pernah dijumpainya lagi.
Memang
perbuatan manusia terlalu kejam. Manusia terlalu serakah penuh napsu
untuk merusak dan menghisap sesama. Ta Ina Luhu seorang Puteri yang
cantik jelita. Ia tak rela hidup lebih lama menanggung derita akibat
tamak, loba dan napsu serakah manusia. Ia mengutuki penjajahan dan tak
mau berdamai dengan mereka sampai sirna.
Kini
kehilangan Ta Ina Luhu itu menjadi ceritera dan legenda. Kata orang di
kota Ambon: “Katong bisa mendapat antua berupa seorang nenek tua, kalau
hujan panas sedang turun”. Antua berjalan turun naik, karena kaki
sebelahnya adalah kaki manusia sedang sebelahnya adalah kaki kuda. Kalau
hujan panas turun (hujan disertai terik matahari) orang biasanya
menghindari diri dari jalan. Sebab katanya, nenek Luhu akan lewat dan
mengambil siapa saja yang dijumpainya. Biasanya beliau senang mengambil
anak-anak dan membawa mereka pergi. Siapa yang diambil pergi akan
menghilang untuk beberapa hari. Keluarganya cepat-cepat menghubungi
tua-tua adat di kota Ambon atau di negeri Soya meminta agar mereka
membaca mantera-mantera agar anak mereka dapat dikembalikan oleh Nenek
Luhu. Atas permintaan sanak keluarga yang hilang mantera-mantera pun
dibacakan orang. Setelah mantera-mantera dibacakan oleh tua-tua adat
dari negeri Soya, maka yang hilang tadi dapat ditemukan kembali. Dia
ditemukan biasanya dalam keadaan sekarat.
Orang
tidak menyebutnya Ta Ina Luhu lagi, melainkan NENEK LUHU, karena beliau
selalu menampakan diri seperti seorang nenek yang tua renta. Sepanjang
sejarah, Nenek Luhu ini antipati pada Belanda. Ini terjadi dalam
ceritera yang dikisahkan begini;
Di
kota Ambon, pada sebelum Perang Dunia II, ada sebuah hotel orang
Belanda. Hotel itu bernama INDRACHT. Hotel itu berlokasi di kantor
Gubernur Maluku sekarang. Di hotel itu ada sebuah sositeit, tempat orang
Belanda berpesta pora dan bersenang-senang. Mereka berdansa hingga pagi
hari. Pada malam Minggu, sositeit itu tumpah ruah penuhnya. Banyak
sekali pria wanita, tua muda menghadiri acara pesta. Bagi orang-orang
Belanda yang tak punya pasangan berdansa, mereka bisa men dapatkan
pasangan di soseteit itu.
Pada
suatu malam Minggu datanglah ke sositeit, letnan William van Batemberg.
Ia datang ke sositeit tanpa pasangan, karena memang ia masih lajang.
Ketika music waltz berbunyi yang dimainkan oleh orkes hawaian Yong
Ambon, orang mulai berdansa dengan asyiknya. Letnan William van
Batenberg. Tiba-tiba ia membuang pandang ke sudut timur sositeit itu.
Tampak olehnya seorang gadis remaja yang cantik jelita, sedang duduk
seorang diri. Kesempatan baik ini tidak dibiarkan letnan William untuk
berlalu. Ia bangkit dari duduknya dan menghampiri gadis manis, di sudut
sositeit, yang sedang kesepian. Ia menundukan kepala memohon nona untuk
berdansa bersamanya. Dengan senyum manis, nona berdiri dan menerima
permohonan sang letnan. Mereka berdua mulai mengayungkan langkah
mengikuti irama waltz. Alangkah senangnya letnan William mendapatkan
seorang nona yang manis, cantik dan serasi, sebagai pasangan dansanya
mala ini. Tawa ria, cumbu rayu antara mereka berdua, hampir tak
terlukiskan lagi. Sayangnya letnan William tidak mengetahui, siapa
sebenarnya yang menjadi pasangannya. Mungkin ia telah bertanya, tetapi
Nenek Luhu memberikan nama samara pada William, entahlah. Karena
asyiknya letnan William lupa segala-galanya. Ia terbuai dalam pelukan
Nenek Luhu, tokoh misterius itu. Mungkin karena ia kecapaian dan
ngantuk. Akhirnya ia hanya mendengar musik itu sayup-sayup.
Minggu
pagi, ketika terang benderang, semua orang telah pulang ke kamarnya
masing-masing di hotel indracht. Beberapa perwira Belanda datang ke
kamar William untuk bertanya, siapakah gadis manis pasangan dengan
letnan William. William ditunggu sehari itu, tetapi ia tak kunjung
pulang. Besoknya hari Senin, William ditunggu lagi, namun sang letnan
tak tampak batang hidungnya. Kawan-kawannya menjadi gelisah. Sudah dua
hari letnan William tak kunjung pulang. Timbullah kecurigaan para
perwira itu, tentang gadis manis pasangan dansa William semalam. Mereka
teringat, ceritera Nenek Luhu tokoh misterius itu. Ketika dicari
kesana-kemari tak dapat, mereka segera menghubungi tua-tua adat di
negeri Soya. Tua-tua adat mengerahkan rakyat untuk mencarinya.
Setelah
mencari penuh, mereka menemukan William van Batenberg, pada sebuah
hutan yang lebat, dilereng gunung Nona. Ia sedang terlentang dalam
keadaan sekarat. Perutnya kembung, mulutnya berlumur dengan lumpur.
Cepat-cepat mereka membawanya pulang. Tua-tua adat segera membacakan
mantera-mantera untuk mengobatinya. Usaha mereka yang pertama sekali
ialah, mengeluarkan isi perutnya. Ternyata yang keluar dari mulut dan
duburnya, lumpur yang hitam pekat. Setelah semua isi perutnya terkuras
keluar, ia menjadi siuman dan sadarkan diri.
Teman-teman
berusaha untuk menanyakan apa yang ia alami dengan tokoh misterius itu.
Dengan suara yang putus-putus ia berceritera, bahwa teman dansanya itu
adalah seorang gadis yang cantik, peramah dan baik hati. Ketika berdansa
beberapa kali dengannya, ia terlena karena dibuai rayuan dan pelukan
gadis itu. Rasanya ia tertidur sampai pagi tiba. Ketika ia terjaga,
dilihatnya ia berada dalam hutan lebat. Ia masih teringat gadis manis
itu memberikan makanan yang lezat-lezat padanya. Ia memakan
sepuas-puasnya. Gadis manis teman dansanya itu, kaki-kakinya tidak
sempurna, yaitu sebelah kirinya kaki manusia, dan sebelah kanannya kaki
kuda. Dalam berdansa kaki kuda itu selalu menginjak-injak sepatunya. Ia
berusaha menegur tentang apa yang terjadi, tetapi selalu ia bimbang dan
lupa. Akhirnya ia hilang ingatan sama sekali. Ketika ia siuman, ia
dikelilingi oleh teman-temannya dan berada dalam perawatan para tua-tua
adat.
Kini
semuanya telah terang benderang. Ilmu dan teknologi telah berkembang
maju dan semakin canggih, tetapi Nenek Luhu masih merupakan seorang
tokoh misterius pada penghuni kota dan pulau Ambon, malah hampir di
seluruh kepulauan Maluku.
Sampai
dimana akhir dari kisah tokoh misterius ini – mati atau hidup – tak
seorangpun yang dapat atau takut mengungkapnya. Mereka takut,
kalau-kalau tokoh misterius ini marah, sehingga akan terjadi malapetaka.
Kini hanya tinggal kisahnya, merupakan sebuah ceritera yang tak dapat
diputarbalik oleh siapapun.
Menghilang
Nenek Luhu, yang sering-sering menampakan dirinya sebagai seorang nenek
tua renta, dengan kaki kanannya dalah kaki kuda, dan kaki kirinya
adalah kaki manusia, memberi tanda pada masyarakat, bahwa dialah Ta Ina
Luhu yang hilang itu.
Ia
selalu menampakan diri, ketika turun hujan rintik-rintik disinari
matahari yang terik. Pada saat itulah masyarakat menghindari jalan raya,
terutama anak-anak. Sebab beliau biasanya berjalan di jalan, dan siapa
saja yang dijumpainya, terutama anak-anak kecil, diambilnya dan
dibawanya pergi.
Hal
yang kami ceriterakan di atas memang aneh, tetapi nyata, dan hal ini
bukanlah suatu yang diluar biasa bagi masyarakat di Maluku. Ini bukan
ceritera legenda atau dongeng semata, tetapi fakta yang memang
benar-benar terjadi, dan hingga kini masih tetap hidup dan terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar